DI AWAL PERNIKAHAN, banyak suami-suami yang meminta istrinya untuk tetap tinggal di rumah atau maksimal tetap bekerja di luar rumah hingga mereka dikaruniai anak. Tak jarang, kesadaran sang istri juga mendorong mereka kembali ke rumah dan meninggalkan aktivitas mereka di ranah publik.
Kesadaran ini sungguh mulia, apalagi jika mengingat peran sentral seorang wanita sebagai ibu yang nantinya akan mengasuh anak-anak. Tentu bukan sebuah pemahaman yang baru bahwa anak tak hanya memerlukan terpenuhinya kebutuhan materi, tetapi juga kebutuhan psikis.
Namun, ada sesuatu yang terlupakan saat sang suami meminta istri kembali “pulang” ke rumah atau ketika si istri dengan kesadaran penuh meninggalkan ranah publik untuk berjibaku penuh dalam ranah domestik. Benarkah kedua belah pihak sudah siap dengan konsekuensi bila seorang istri benar-benar hanya berada di rumah?
Rumah vs Bahagia
Banyak orang yang melupakan bahwa ibu, istri, perempuan, tetap adalah manusia yang juga butuh ruang untuk mengaktulisasikan kemampuan mereka. Tentunya, setiap perempuan punya keinginan untuk bisa melakukan hal yang bermanfaat bagi banyak orang, punya teman-teman diskusi, dan jika memungkinkan, punya sedikit penghasilan dari jerih payahnya sendiri. Walaupun ini bukan berarti seorang perempuan akan meninggalkan tugas mulianya sebagai seorang kreator peradaban umat melalui pengasuhan terhadap anak-anaknya.
Pemahaman akan kebutuhan untuk berkarya, mengaktualisasikan diri, dan memiliki teman berdiskusi inilah yang seringkali terpendam, dalam pemahaman bahwa wanita harus diam di rumah. Bagaimana dengan wanita yang terbiasa aktif dengan sejumlah kegiatan di kantor atau organisasi kemanusiaan?