DALAM episode
sejarah kehidupannya, sekalipun Muhammad dipersiapkan oleh Allah
Subhanahu Wata’ala selama empat puluh tahun lamanya untuk menjadi
komunikator-Nya, terbukti belum cukup. Segudang pengalaman, meliputi
pengalaman spiritual, psikologi, diplomasi, pekerja sosial, militer,
parenting, pemimpin, figur publik, tidak memadai sebagai modal untuk
dijadikan problem solving dalam menterapi patologi sosial yang
menjangkiti bangsanya pada stadium akut.
وَوَجَدَكَ ضَالّاً فَهَدَى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS. Adh Dhuha (93) : 7)
Bingung yang dimaksud adalah kebingungan – kehilangan arah/rute - untuk memperoleh kebenaran mutlak (al-Haqiqah al-Muthlaqah)
yang tidak bisa dicapai oleh akal pikiran, lalu Allah menurunkan wahyu
kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai jalan untuk
memimpin ummat (masyarakat jahiliyah yang terjangkiti penyakit moral –
minum-minuman keras, membunuh, mencuri, main judi, makan riba, main
perempuan) menuju kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Itulah sebabnya, beliau senang berkhalwat (menyendiri)
selama tiga tahun untuk mengadakan perenungan yang luar biasa (untuk
mencari solusi mengatasi kerumitan masyarakat jahiliyah) di Gua Hira.
Dan ketika struktur kepribadiannya sudah matang menurut
penilaian-Nya, Allah Subhanahu Wata’ala berkenan menurunkan kepadanya
wahyu Al-Quran. Yang berisi perintah dan larangan yang terasa berat
dipikul secara pisik dan jiwa. Ternyata, keunggulan isi al-Quran baru
fungsional sebagai petunjuk jika didukung kehebatan pelakunya. Konsep
yang agung memerlukan pelaksana yang sepadan dengan kemuliaannya.