Halaman

Kehormatan Jangan Dijatuhkan, Kesalahan Jangan Dicari-cari

   Al-Qur'an ini tegas melarang tajassus alias mencari-cari kesalahan orang. Ini merupakan keburukan sangat besar


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim



ALANGKAH banyak aib kita yang Allah Ta’ala tutupi. Andaikan aib itu berupa bau busuk, niscaya kita tak akan sanggup mencium aib kita sendiri. Sesiapa yang Allah Ta’ala telah tutupi aibnya saat berbuat dosa, maka janganlah ia menceritakan menyebarluaskannya kepada orang lain. Janganlah menjadi mujahirin.

Siapakah mujahirin itu? Orang yang melakukan perbuatan dosa secara terang-terangan. Mereka inilah orang yang tidak mendapat ampunan Allah Ta’ala. Termasuk mujahirin adalah orang yang melakukan perbuatan mungkar secara diam-diam, Allah Ta’ala pun tutupi, tetapi ia kemudian menceritakan kepada orang lain tanpa alasan yang haq.
Sangat banyak aib kita yang Allah Ta’ala tutupi. Maka hendaklah kita berusaha menjaga diri agar tak membuka aib orang lain & menyebarkannya.

Baca:  Membela Kehormatan Saudara

Tidakkah kita ingin termasuk yang dijamin Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam?
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجْهَهُ النَّارَ
“Sesiapa mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari Kiamat.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
Hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ahmad ini menunjukkan betapa melindungi kehormatan seorang muslim akan menyelamatkan seseorang dari api neraka. Kehormatan seorang muslim sama mulianya dengan darahnya; tak boleh menetes sedikit pun tanpa alasan yang dibenarkan.

Jika menjaga kehormatan saudara seiman dan menutupi aibnya merupakan kemuliaan, maka menyebarluaskan tanpa hak (ghibah) sangat tercela. Menggunjing (ghibah) itu ibarat memakan bangkai saudaranya; pertanda sangat busuk dan kejinya perbuatan yang kadang terasa mengasyikkan itu.

Ingatlah, wahai diriku yang bertumpuk kesalahan, sesungguhnya setiap muslim itu mulia. Haram kita ciderai darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ
“Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram, yaitu darahnya, kehormatannya dan hartanya.” (HR. Muslim).

Tidakkah kita perhatikan ini?
Tidak ada yang memudahkan kita untuk merusak kehormatan sesama muslim kecuali karena lemahnya iman. Terlebih jika sudah ada buruk sangka. Penyebab lain yang menggelincirkan kita merusak kehormatan saudara seiman adalah besarnya kemaksiatan diri yang hendak ditutupi. Sesungguhnya kemaksiatan yang beriring dengan kezaliman dan kejahatan itu membuat seseorang cemas terhadap terbukanya aib.

Nurani yang bersih membuat kita merasa gelisah dan malu apabila berbuat maksiat. Dan semakin bertambah kegelisahan itu jika kemungkarannya besar. Kecemasan terhadap aib yang tak dapat ditutupi akan semakin besar dan menakutkan pada orang yang terbiasa membuka aib orang lain, padahal ia sedang memperbuat kemungkaran besar yang mengancam kehormatan diri serta kedudukannya di tengah-tengah manusia. Jika kemaksiatan dan buruk sangka telah mengakar pada diri seseorang, maka pintu keburukan berikutnya yang segera ia masuki adalah tajassus.

Baca: Jauhi Perdebatan yang Mencelakakan!

Apakah tajassus itu? Mencari-cari kesalahan hingga mencari kemungkinan yang tersulit sekalipun. Jika mendapati, ia besarkan kesalahan itu. Semakin besar semangat untuk melakukan tajassus, semakin besar pula kecenderungan membesar-besarkan kesalahan atau kekeliruan yang kecil. Apa yang sebenarnya merupakan kekhilafan dalam urusan sederhana yang wajar terjadi dan sepatutnya dimaafkan, ditampak-tampakkan sebagai kejahatan besar. Jika tidak segera bertaubat dari keburukan ini, ia dapat terperosok kepada keburukan yang lebih besar, yakni mengada-adakan kesalahan.

Apa bedanya? Mencari-cari kesalahan memang berusaha sekuat tenaga menemukan keburukan seseorang, sedangkan mengada-adakan lebih buruk lagi. Mengada-adakan kesalahan itu ia mengetahui betul bahwa tidak ada kesalahan pada orang tersebut, tetapi ia menisbahkan kesalahan kepadanya; mengesankan kepadanya bahwa ia berbuat kesalahan yang sangat besar. Ini semua termasuk fitnah yang keji. Ghibah itu buruk. Tajassus itu sangat buruk. Dan lebih buruk lagi adalah melakukan fitnah. Karena itu, kita perlu berhati-hati terhadap buruk sangka agar tidak tergelincir kepada tajassus atau yang lebih buruk lagi, yakni fitnah.

Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang lain (tajassus) dan jangan pula menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan bangkai saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat, 49 : 12).

Firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an ini tegas melarang tajassus alias mencari-cari kesalahan orang. Ini merupakan keburukan sangat besar. Buruknya tajassus, apalagi jika sampai mengada-adakan kesalahan, akan lebih besar kerusakannya jika menimpa tokoh, sosok panutan dan penguasa. Maka, ikhtiar agar tidak bermudah-mudah menjatukan kehormatan sesama muslim, kita perlu memperbaiki iman, menjaga lisan dan menjaga diri.

Baca: Kehormatan Perempuan, Ujung Tombak Peradaban

Ingatlah sejenak sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ
“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang: mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan lainnya).
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita, para tokoh serta sosok panutan kita maupun para penguasa dari merusak kehormatan, tajassus dan mengada-adakan kesalahan.*

Tulisan diambil dari FB. Mohammad Fauzil Adhim
 https://www.hidayatullah.com/kolom/meminang-surga/read/2017/04/06/114424/kehormatan-jangan-dijatuhkan-kesalahan-jangan-dicari-cari.html

Akhlak Para Ulama Yang Perlu Kita Tiru

IMAM TAQIYUDDIN IBNU TAIMIYAH AL HARRANI adalah seorang mujtahid di madzhab Hanbali. Meski banyak perbedaan pandangan, Ibnu Taimiyyah tetap menghormati ulama madzhab lain.
Pada suatu saat, ‘Alauddin Al Baji (724 H), salah satu ulama madzhab As Syafi’i, mutakallim dari kalangan Asy`ari, yang mempunyai majelis perdebatan bertemu dengan Ibnu Taimiyah.  Al Baji berkata kepada Ibnu Taimiyah: ”Bicaralah, kita membahas permasalahan denganmu.”
Akan tetapi Ibnu Taimiyah menjawab,”Orang sepertiku tidak akan berbicara di hadapan Anda, tugasku adalah mengambil faidah dari anda.” (Tabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 10/341)

Kunci Amalan yang Membuat Hidup Lebih “Hidup”

      Jika hidup suka melampiaskan kemarahan dan enggan memaafkan, maka dia memastikan diri terperosok dalam ketidakbahagiaan
   

          MENJADI Muslim itu mudah, murah dan tentu saja berkah. Sebab semua dimensi empiris dan material yang dijalani diliputi oleh dimensi spiritual yang meneguhkan sekaligus menenangkan.
Oleh karena itu, Islam selalu menganjurkan doa dalam setiap aktivitas yang umat Islam lakukan, mulai dari bangun tidur sampai akan tidur lagi, banyak aktivitas yang harus diawali dan ditutup dengan doa. Makan, minum, tidur, berkendara, memakai baju, mandi, dan lain sebagainya.
Tetapi, mengapa masih ada sebagian dari kita yang hidupnya galau, penuh amarah dan karena itu tidak bahagia? Boleh jadi karena tidak memahami Islam atau belum benar-benar meresapi dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan konsisten.
         Tetapi, amalan di dalam Islam kan banyak sekali. Benar, dan karena itu mari kita lihat tiga di antaranya yang merupakan amalan harian yang harus dilakukan oleh umat Islam.
      Pertama, Shalat
Shalat sebagai tiang agama mencakup semua dimensi kehidupan, mulai dari gerak fisik, rasa, pikir dan hati, dan yang paling menarik adalah sisi waktunya.
        Orang yang Shalatnya tertib akan memiliki kedisiplinan tinggi di dalam kehidupannya. Misalnya soal disiplin waktu. Mereka yang istiqomah Shalat Shubuh apalagi tahajjud, hampir kecil peluangnya untuk terlambat dalam aktivitas kerjanya. Lebih dari itu, wajahnya berseri-seri, karena bangun di waktu yang tepat, yakni di waktu sahur atau sebelumnya.
        ‘The mind must be fully made up that to rise early is a duty” (Pikiran harus sepenuhnya diarahkan untuk memahami bahwa bangun lebih awal adalah tugas), demikian kata Benjamin Franklin memberikan motivasi.
        Tetapi, bagi kita, bangun lebih awal sebenarnya keuntungan besar, karena bisa menghadap Allah melalui beberapa jenis Shalat. Mulai Shalat tahajjud, Shalat witir, Shalat sunnah fajar, sampai Shalat Shubuh.
          Katakanlah jika kita tinggal di Jabodebek, bangun jam 4 dini hari, maka sampai tiba waktu shubuh ada empat jenis Shalat yang dilakukan secara berurutan. Artinya, gerak fisik untuk kesehatan tubuh telah ditunaikan.
Dalam teori kesehatan “physical activity” merupakan salah satu hal penting untuk menunjang kesehatan dan tentu saja kebahagiaan seseorang.
          Katherine Zeratsky mengatakan, “Aktivitas fisik tidak saja baik bagi kita, tetapi juga memberikan jalan (terbaik) untuk memanfaatkan waktu.”
Dengan bangun lebih awal, kita tidak saja mendapatkan keesempatan menghirup oksigen dengan baik, tetapi juga mendirikan Shalat yang memenuhi kriteria aktivitas fisik yang pada saat itu pula juga bermunajat kepada Allah.
          Jika ini diamalkan, apakah mungkin hati seorang hamba diliputi selain dari pada ketentraman dan keyakinan kepada Allah Ta’ala? Apakah mungkin masih ada kemalasan yang ingin dilampiaskan?
Artinya, orang yang melakukannya benar-benar akan bahagia dalam hidupnya.
         Kedua, memafkan
Dalam hidup, manusia tidak bisa lepas dari yang namanya interaksi dengan sesama. Dan, dalam interaksi itu tentu saja ada hal-hal yang membutuhkan kebesaran jiwa.
Ketika sedang berkendara misalnya, tiba-tiba ada pengendara lain yang secara mendadak memotong jalan dan berbelok, yang kalau Allah tidak jadikan reflek diri segera melakukan pengereman, insiden tidak bisa dihindarkan. Dalam situasi seperti itu, kebanyakan orang spontan berkata kasar atau tidak patut. Tetapi, kalau bisa memaafkan maka itu lebih baik        
        Dan, tentu saja masih banyak kejadian lain yang membutuhkan pemaafan dari kita. Mulai dari cemooh orang di jalanan, sikap cuek mereka dalam berlalu lintas, bahkan sampai pada tahap pasangan begitu sering memprotes kebaikan-kebaikan yang kita upayakan sekuat tenaga, hingga anak yang sepertinya tidak mau mengerti kehendak orang tua. Semua butuh pemaafan.
Ketika kita memaafkan, hal buruk apapun tidak akan mengotori hati, sehingga pikiran kita tetap positif. Tetapi begitu kita tidak memaafkan, emosi akan naik dan tentu saja reaksi dalam tubuh kita menjadi tidak produktif untuk berpikir benar.
Betapa pentingnya memaafkan ini, Allah sampai jadikan sebagai satu poin dari karakter insan bertaqwa.
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡڪَـٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ‌ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ (١٣٤)
“[yaitu] orang-orang yang menafkahkan [hartanya], baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan [kesalahan] orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (134).” (QS. Ali Imran [3]: 134).

       Mengapa memaafkan itu penting dan dinilai sebagai wujud ketaqwaan dalam pandangan Allah?
Alasannya jelas, karena memaafkan itu memang tidak mudah. “Forgiveness isn’t always easy.”
Dengan kata lain, orang yang hidupnya suka melampiaskan kemarahan, kekesalan dan tidak mau memaafkan, maka dia telah memastikan dirinya sendiri terperosok dalam ketidakbahagiaan.
Sebab sebuah riset membuktikan bahwa sikap memaafkan akan berdampak positif terhadap kesehatan; gejala fisik, obat yang digunakan, kualitas tidur, kelelahan, dan keluhan somatik. Jadi, memaafkan itu membahagiakan.
       Ketiga, bersyukur
Bersyukur satu sisi adalah perintah dari Allah, tetapi sisi yang lain bersyukur adalah kebutuhan hidup manusia itu sendiri.
Orang yang bersyukur akan mendapatkan banyak keuntungan. Mulai dari mengalami stres dalam tingkat terendah dalam menghadapi dinamika kehidupan sampai pada merasakan ketenangan kala malam tiba, terlebih jika diiringi dengan ibadah di malam hari.
       Lebih jauh, sebuah studi yang diterbitkan dalam Personality and Individual Differences pada tahun 2012 menyebutkan bahwa bersyukur dapat menjadikan seseorang mengalami lebih sedikit sakit dan nyeri, menimbulkan rasa lebih sehat di dalam hati, terdorong untuk sadar dengan kesehatan dan tenu saja sangat besar kemungkinan berkontribusi untuk berumur panjang.
Oleh karena itu, bersyukurlah kepada Allah, kepada pasangan, kepada anak, kepada tetangga, dan tentu saja kepada orang tua kita, guru dan mereka yang banyak mengarahkan kita pada jalan kebenaran.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim [14]: 7). Wallahu a’lam.*

 ( https://www.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2017/08/14/121453/kunci-amalan-yang-membuat-hidup-lebih-hidup.html/2)